Dan siang itu, ibu tidak dapat menjemputku seperti biasanya. Aku telah lama menunggu hingga akhirnya aku memutuskan untuk pulang berjalan kaki. Berjalan sendiri ditengah ramainya orang berlalu lalang dengan panas terik matahari yang menyengat kulitku. Aku sangat haus dan merasa lambungku telah menagih jatah makan siangnya, namun tidak ada seorangpun yang mengerti keadaanku. Jarak rumah ku menuju sekolah memang cukup jauh, hingga terkadang aku berhenti sejenak untuk sekedar istirahat dan bermain dengan imajinasiku sendiri. Yah.. saat itu aku melihat banyak burung yang terbang dilangit, dan spontan aku melambaikan tangan pada burung itu, seakan aku ingin merasakan terbang seperti burung itu. So Impossible…
“Heii… anak autis.. minggiiir…” “kriiingg…..kriiingg..kriing,,!!!” suara salah seorang dari segerombolan anak-anak itu sontak membuatku kaget. Ditambah banyaknya suara bel sepeda yang membuatku sangat pusing melihatnya. Dan entah darimana dia tahu akan penyakitku. Mungkin orangtua mereka yang sering menggosip dengan orangtua lainnya saat menjemput anaknya sekolah. Entahlah yang pasti aku ingin……. Dan…
“Aaaaauuu……. (gubraak.)”.. tanpa sadar aku mendorong radit, salah satu temanku yang mengendarai sepeda itu sehingga dia terjatuh dan kepalanya terbentur tepat dengan batu besar hingga mengeluarkan banyak darah.
Aku tidak memperdulikannya dan segera berlari menuju rumah.
“Heii…. Anak autis.. lihat saja kau nanti!!!” radit pun berdiri dibantu teman – temannya dan dari wajahnya terlihat kekesalan yang akan dibalas padaku nanti.
--------------
Sesampainya di rumah, aku tidak menemukan keberadaan ibu. Aku hanya melihat kak panji dan teman – temannya sedang bermain di ruang tamu dan akupun tidak melihat adanya kak ratu di rumah. Kenapa ibu dan kak ratu pergi tanpa mengajakku.
“Eh udah pulang.. cuci tangan cuci kaki ganti baju terus makan yah.. tuh ibu udah siapin makanan buat kamu” kata kak panji seraya memberiku baju ganti. Tumben hari ini kak panji terlihat baik dan perhatian.
“ii…ibu maanaa” pertanyaan yang singkat dariku.
“Ibu lagi ke dokter, bentar lagi juga pulang” jawaban yang singkat pula.
Perasaanku menjadi tidak enak mendengar kata ‘dokter’. Siapakah yang sakit? Aku takut jika ibu sakit. Aku takut ditinggal ibu. Aku takut tidak ada lagi yang baik padaku. Tidak ada lagi yang membelaku saat orang disekelilingku mengasingkanku. Sepertinya aku berfikir terlalu berlebihan dan rasa pusing itu kembali hadir sehingga aku memutuskan untuk menyendiri di kamar. Tapi tak lama terdengar suara ibu dan kak ratu. Mereka sudah datang. Ada perasaan lega dihatiku.
“Assalamuallaikum.. panji, tadi kamu jemput genta,kan?” Tanya ibu pada kak panji sambil mencari-cari aku yang masih berada dikamar.
“Yaa bu.. kata dokter ratu sakit apa?”
“Terus genta sudah makan?” ibu kembali bertanya tentangku dan menghiraukan pertanyaan kak panji
“Kayaknya… udah”, jawab kak panji yang terus membohongi ibu.
“Kok kayaknya, bikin ibu khawatir aja.. genta sayang.. sudah makan belum?” panggil ibu dari luar pintu kamar. Dan aku segera mendatanginya. Namun ibu sudah berlalu menuju dapur.
“Yang sakit kan ratu bu, kenapa genta yang dikhawatirkan” .. cetus kak panji yang begitu kesal.
“Aku ngga papa kok kak, Cuma kecapean aja, besok juga sembuh” kata ratu sambil berbaring di kamarnya.
“Iya.. ratu ngga kenapa-kenapa, dia cuma butuh waktu buat istirahat. Obatnya diminum ya ratu..” jawab ibu menenangkan sambil memberikan segelas air dan beberapa obat yang masih dibungkus rapat. Aku tidak mengerti kak ratu sakit apa, tapi dari wajah ibu sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan dari kami. Semoga kak ratu baik - baik saja.(bersambung)