Prolog
“ Kalau saja kamu tidak melahirkan anak itu, tidak akan begini jadinya. Kamu fikir saya tidak malu. Kemarin baru saja merusak tanaman orang, sekarang berantem dengan anak itu lagi. Harus bagaimana lagi saya mengajarinya, Bu..?” bentak ayah pada ibu yang sedari tadi hanya mengelus rambutku. Iya, itulah ayahku. Seorang lelaki berbadan besar tegap dengan suara yang keras lantang dan tidak pernah menampakan wajah persahabatan kepada setiap orang, kecuali pada ratu. Ratu adalah kakak kedua ku. Aku anak ketiga dari tiga bersaudara. Kakak pertamaku bernama panji dan yang kedua bernama ratu. Mungkin ayah begitu sayang pada ratu karena dia anak perempuan satu-satunya. Bagiku, panji adalah seorang kakak yang baik,pintar,peduli dan perhatian, nyaris perfect. Tapi kebaikannya itu tidak pernah diberikan padaku melainkan pada ratu. Panji sangat menjaga ratu dan selalu cemburu apabila ibu lebih perhatian padaku daripada ia dan ratu. Aku sadar, mungkin karena aku berbeda dengan orang-orang normal sehingga akupun harus diperlakukan berbeda. Tapi, aku selalu melihat setiap orang dari sisi positifnya dan selalu menganggap semua orang baik padaku seperti yang sering ibu katakan.
“Kenapa ibu diam saja!! Pantas saja anak itu semakin menjadi-jadi. Benar apa yang Pak Surya bilang, dititipkan saja dia di panti, kan memang sepantasnya dia berada disana..” kembali ayah meluapkan emosinya. Dan aku langsung bangun dari pangkuan ibu. Mendengar kata ‘dititipkan di panti’ membuatku nyaris takut. Karena diusia ku yang baru 5 tahun itu,aku merasa tidak ada orang yang lebih baik kecuali ibu. Aku tidak ingin pisah dengan ibu.
“Istighfar lah yah, anak seusia genta memang masih nakal-nakalnya. Jangan beda-bedakan dia dengan yang lain. genta tidak boleh tinggal di panti!!” kini ibuku mulai bersuara. Memang setiap aku melakukan kesalahan, ibu lah pahlawan yang selalu membelaku. Sejujurnya, aku tidak pernah ingin membuat suatu kesalahan,namun terkadang aku reflex melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin kulakukan. Itulah aku, aku dilahirkan dengan kekurangan. Aku berbeda dengan panji,ratu dan anak-anak lain seusiaku. Aku memiliki penyakit gangguan kejiwaan yang biasa disebut Autis Infantil. Untuk itu, ayah sangat membenciku dan selalu menginginkanku tinggal di panti.
Sejak lahir sampai dengan umur 24 - 30 bulan aku masih terlihat normal. Setelah itu orang tua ku mulai melihat perubahan seperti keterlambatan berbicara, bermain dan berteman (bersosialisasi) tidak seperti anak lainnya. Kecurigaan itu bertambah saat ibu memeriksakan aku pada beberapa tim dokter ahli seperti ahli neurologis, ahli psikologi anak, ahli penyakit anak, ahli terapi bahasa, ahli pengajar dan ahli profesional lainnya dibidang autisme. Dan hasil diagnose mengatakan bahwa aku mengidap autis ringan yang kemungkinan dapat disembuhkan, tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada.
“Tapi kalau dia terus berada disini, barang apalagi yang akan dirusaknya. Anak siapa lagi yang menjadi korban kenakalannya. saya malu memiliki anak seperti itu!!”
“Astagfirullah yah, genta ini anakmu. Allah sedang menguji kita. Sesabar apakah kita menerimanya. Kalau ayah malu memiliki genta, biar ibu yang merawatnya. Biar ibu juga yang menghadapi keluhan tetangga akibat perbuataannya. Tapi ibu yakin, genta tidak akan senakal itu, kecuali dia merasa tidak nyaman di suatu tempat”. Ibu memang pahlawan bagiku, karena dialah yang menyelamatkanku saat ayah sudah menjajah pikiranku. Aku sempat tidak memiliki semangat hidup saat ayah bilang bahwa ‘malu memiliki anak sepertiku’. Tak sanggup aku menatap ayah dan hanya satu kalimat yang dapat kuucapkan dengan nada terbata-bata.
“mm..maafkaan genn..taa, yah”, ada banyak kata yang ingin kuucapkan. Sebenarnya aku berantem karena idam anak tetangga sebelah selalu mengejekku, terutama mengejek nama ayah. Ayahku memang hanya seorang supir taksi yang terkadang mengantarkan idam ke sekolahnya. Perubahan hidup kami terjadi saat ibu sedang mengandung aku. Semenjak ayah diberhentikan dari perhotelan dan segala investasinya habis, ayahku memulai usaha lagi dari nol. Walaupun memang sangat berat menerima kenyataan itu, namun ayah berusaha tegar menghadapinya,tapi tidak dalam menghadapiku.
“Sudahlah.. terserah kamu.. urus saja anak itu sendiri!!” Ayah pun berlalu meninggalkan aku dan ibu. Kalau saja ayah tahu penyebab aku berkelahi. Tapi ya sudahlah,toh kalau aku ceritakan ayah tidak akan percaya dan hanya memperpanjang masalah saja. Ibu pun kembali menatapku..
“Sudah malam, cepat tidur. Jangan disimpan di hati perkataan ayah tadi. Ayah cuma ingin kamu menjadi anak yang baik. Berkelahi itu bukan perbuatan baik. Kalau genta ingin menjadi anak ibu, genta harus menjadi anak yang baik. Bisa?” ibu kembali menasehatiku sambil menuntunku menuju kamar.
“Bb..bisaa..”
“Ibu percaya sama genta” memang hanya ucapan ibu yang selalu membuat aku tenang. Walau sebenarnya aku masih teringat kata-kata ayah yang selalu bilang ingin menitipkanku di panti. Aku tidak sanggup mengingatnya.(bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar